Mengutip pendapat psikolog klinis anak dan remaja dari Klinik Terpadu Universitas Indonesia (UI), Andini Sugeng, sebelum memberikan label anak nakal, ada baiknya orang tua memahami terlebih dahulu perilaku anak.

“Perilaku nakal biasanya terlihat ketika anak menampilkan perilaku yang dianggap melanggar aturan yang ada di rumah atau suatu lingkungan sosial,” ujar Andini. “Sementara itu, usia anak akan menjadi gambaran bagaimana perkembangan dan kemampuannya dalam memahami dan bersikap kooperatif terhadap aturan yang berlaku,” lanjutnya. Penting bagi orang tua untuk memberikan pemahaman kepada anak mengenai aturan-aturan yang diterapkan di rumah. Penggunaan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak juga diperlukan agar tidak terjadi salah paham. Aturan harus disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak.

Dalam menghadapi suatu perilaku anak yang kurang kooperatif, orang tua diharapkan bisa peka terhadap kebutuhan anak. Jangan sampai, karena kurangnya perhatian yang diberikan oleh orang tua, anak menjadi dianggap nakal karena tidak mau mematuhi perintah orangtua.

Kebutuhan anak tidak hanya sebatas kebutuhan yang bersifat fisik atau materi, tetapi juga kebutuhan emosinya. Ada perilaku-perilaku yang terlihat kurang kooperatif adalah cara anak mencari perhatian misalnya marah-marah padahal ingin diajak main atau dipeluk.

Andini juga mengatakan orang tua harus selalu mengawasi kondisi kesehatan anak, misalnya apakah anak sakit, mengalami luka, kurang tidur, lapar atau keluhan lainnya. Hal tersebut sangat berguna untuk melihat perilaku anak yang tiba-tiba menjadi tidak kooperatif. Orang tua juga perlu mendengar apa yang disampaikan oleh anak walaupun terkesan sepele. Dari situ, anak akan merasa lebih diperhatikan oleh orang tuanya.

Tugas orang tua adalah memvalidasi emosi anak agar ia merasa nyaman dengan mendapatkan perhatian yang sesuai saat sedang merasa tidak nyaman dan belum tahu cara mengatasinya. Orang tua juga wajib membantu dengan memberikan bimbingan cara mengatasinya, misalnya beri cara-cara yang positif sesuai dengan masalahnya.

“Hindari memberikan label ‘negatif’ karena berisiko membuat anak makin tidak nyaman. Selain itu bisa berakibat jangka panjang jika label itu berulang. Misalnya, anak menjadi merasa tidak mampu, tidak baik, atau tidak berharga,” kata Andini.

Sementara itu, orang tua juga bisa memberikan konsekuensi terhadap anak atas perilaku yang tidak sehat. Namun, ini harus disesuaikan dengan tingkat “pelanggarannya”, usia dan kemampuannya. Hindari memberikan konsekuensi yang menyakiti fisik atau mental.

Jika semua cara dan usaha sudah dilakukan dan anak tetap tidak bisa dikendalikan, orang tua bisa meminta bantuan ahli profesional seperti dokter anak, psikolog atau tokoh masyarakat terdekat apalagi jika perilaku anak membahayakan diri, orang lain atau merusak barang.

Orang tua juga wajib meminta bantuan profesional jika perilaku tidak kooperatif tersebut dilakukan anak secara berulang dan bersamaan dengan anak yang menampilkan emosi berlebihan, terganggu pola makan dan pola tidur, serta mengalami kesulitan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.

 

Sumber: Liputan6.com

Foto: Freepik

 

 

Untuk informasi dan pendaftaran sekolah Stella Maris School, Hubungi :

Whatsapp : 081389535377
Instagram : @stellamaris.sch
Email : info@stella-maris.sch.id
Video Kegiatan Siswa : Youtube Stella Maris

  • Post author:
  • Reading time:3 mins read